22 December 2014
Dia Berjalan 7 Km Setiap Hari
12 October 2014
Bekerja sesuai passion
Saya adalah jiwa yang mempunyai passion kerja yang senantiasa berubah. Terkadang suka administratif, design, pemrograman, kadang juga photograpy.
Hingga ada teman berkata "passion memang berubah-ubah. Rugi bagi orang yang hanya fokus terhadap satu bidang. Kerjakan sesuai passion saat itu."
Sehingga kini saya putuskan untuk bekerja mencari nafkah sesuai pekerjaan yang Allah pilihkan untuk saya dan meningkatkan kualitas diri dengan melakukan suatu pekerjaan sampingan sesuai passion saat itu.
Saat ini saya bekerja sebagai guru dan tata usaha sekolah. Malamnya saya belajar design, programming, sastra, dll sesuai passion saya saat itu.
Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi teman yang sedang mengalami hal yang sama dengan kisah ini.
01 June 2014
Tentang Segera Menikah
18 April 2014
Pengatrolan Nilai
Saya kemarin mendengar beberapa guru berdiskusi dan mengeluhkan masalah pengatrolan nilai.
Anak jadi sulit diatur, tugas jarang dikerjakan, tidak memperhatikan pelajaran, dan berbagai keluhan lain yang disampaikan, terjadi karena anak telah mengambil pengalaman dari masa yang lalu. Nilai rendahpun akan selalu berubah jadi tinggi, minimal kkm hanya dengan mengerjakan tugas. Bahkan tugas tidak dikerjakan sekalipun, masih mendapat nilai kkm.
Dari diskusi beberapa guru tersebut, saya menarik kesimpulan, alasan mengatrol nilai bukan karena sayang kepada anak, itu alasan klasik. Itu justru penghancuran jiwa, semangat belajar, semangat juang, dan kejujuran siswa.
Saya tidak bermaksud menyelisihi pemerintah dengan sistem pendidikan ini. Saya juga masih awam. Belum mampu memberikan solusi.
Inilah suara anak bangsa, semoga menjadi bahan perencanaan sistem pendidikan mendatang.
Bagaimana menurut anda?
16 March 2014
Ketakutan, kegalauan, keresahan hidup karena kurang ilmu
Sehari ini saya berdiskusi dengan teman SMA, alumni S1 Universitas Diponegoro dan S2 ITB. Lebih tepatnya berguru, karena saya lebih banyak mendengar pengalaman hidupnya. Terkadang saya bertanya dan dia menjawab dengan pengalaman hidupnya.
Setelah berkeluh kesah tentang kegalauan hidup saya, dan mendengar penjelasan dari pengalaman hidupnya, saya sadar bahwa kegalauan, keresahan, ketakutan hidup yang saya alami itu terjadi karena kurangnya ilmu tentang hidup yang saya miliki.
Dari diskusi singkat itu, saya sadar bahwa ilmu hidup dapat saya peroleh dari silaturahim, diskusi dengan teman atau membaca buku, mungkin termasuk dengan membaca tulisan ini.
Bagaimana menurut anda?
14 March 2014
Asap Salah Satu Bukti Keterbatasan Manusia
Sebulan lebih asap menyesakkan dada masyarakat Riau. Segala upaya pemadaman titik api telah dilakukan. Mulai dengan water booming, pengendalian cuaca, hingga shalat Istisqa memohon turun hujan. Namun titik api tak kunjung habis, bahkan asap semakin tebal.
Dahulu mungkin masyarakat Riau merasa aman dari bencana yang menimpa propinsi tetangga, seperti tsunami, banjir, gunung meletus, dan longsor. Mungkin masyarakat Riau menganggap Riau adalah propinsi dengan kemungkinan bencana yang rendah. Mungkin tak pernah terpikir asap akan menjadi bencana besar seperti sekarang.
Kini ketika bencana asap itu datang, kita tak dapat menolak. Bahkan dengan berbagai usaha yang telah dilakukan, asap tetap datang.
Ini adalah salah satu bukti keterbatasan manusia. Sehebat apapun teknologinya, sejenius apapun SDM nya, sekaya apapun propinsinya, tak ada yang mampu menolak takdir Tuhan.
Mari menarik hikmah dari setiap kejadian.
28 February 2014
Kesenjangan Sosial Jangan Dikeluhkan
"Jika orang kaya sakit, segera dan banyak yang menjenguk. Jika orang miskin (baca:lebih rendah tingkat ekonominya) sakit, ditunda dan sedikit yang menjenguk. Saya sakit, hanya dua orang yang menjenguk". Kalimat itu saya dengar beberapa hari yang lalu sebelum menjenguk rekan kerja yang sakit, saya tulis dengan redaksi berbeda.
Keluhan di atas adalah salah satu bukti ada kesenjangan sosial akibat ekonomi.
Akan tetapi, benarkah masalah menjenguk orang kaya dan orang kurang mampu hanya karena faktor ekonomi?
Sedikit membandingkan dengan kisah orang kurang mampu yang lain. Ada orang kurang mampu yang jika ia sakit, banyak yang menjenguk. Orang merasa kehilangan tanpa kehadiran orang ini.
Lalu... Apa sesungguhnya faktor lain yang mempengaruhi kesenjangan sosial ini?
Secara alami, manusia akan merasa kehilangan jika sesuatu yang hilang itu sangat penting, banyak manfaatnya. Sesuatu itu bisa berupa benda, alat atau orang. Jadi mungkin kemanfaatan kita juga berpengaruh tentang kesenjangan sosial ini.
Jika orang kaya, memberi manfaat dengan hartanya. Orang yang kurang mampu bisa memberikan manfaat dengan tenaga, pikiran, bahkan perhatian juga bisa mendatangkan manfaat.
Hal yang sulit adalah menata hati agar mampu bermanfaat dalam kondisi kekurangan.
Menurut pemikiran saya, terkadang orang kurang mampu cenderung minder, malu untuk bergaul dengan orang kaya. Ada juga yang merasa kurang cocok dengan gaya pergaulan, pembicaraan orang kaya. Hal ini mengakibatkan kurangnya kedekatan antara orang kaya dan orang kurang mampu.
Pikiran kurang cocok, perasaan minder ini bisa terjadi akibat kurangnya ilmu, ilmu pergaulan, ilmu sosial, dan ilmu yang lainnya. Hal ini juga bisa terjadi karena hati yang sempit, kelam, yang senantiasa berburuk sangka, minder, dan berbagai perasaan buruk lainnya.
Bukankah jika kita ingin bahagia dunia dan akhirat, bisa kita raih dengan ilmu?
Bukankan jika segumpal daging bernama hati baik, maka akan baik keseluruhannya?
Mari sama-sama menjernihkan hati meningkatkan ilmu. Kesenjangan sosial jangan dikeluhkan.
Ini hanya sebagian kecil penyebab kesenjangan sosial. Penulis pemula ini hanya bermaksud belajar menulis, berbagi pemikiran, berharap menjadi blog motivasi, blog inspirasi, blog terbaik, tentu dengan kritik dan saran dari sahabat semua.
Bagaimana menurut sahabat pembaca?
26 February 2014
Sudah Tidak Zamannya Lagi Atasan Kolot
24 February 2014
Siapa yang Sesungguhnya Benar
Pagi ini saya membaca tulisan di sebuah blog yang sangat aktif. Tulisan tentang Gejolak Anak Muda. Tulisan ini sangat baik sekali.
Salah satu poin dalam tulisan ini adalah tulisan anak muda yang menggebu-gebu. Seolah mereka mengetahui segalanya.
Saya merasa adalah salah satu dari anak muda itu. Sering kali saya menulis di sosial media tentang kritikan, saran, keluhan yang saya tujukan kepada pejabat, sistem pemerintahan, dan masyarakat umum. Merasa mengetahui segalanya.
Tujuan saya menulis demikian bukanlah karena merasa paling benar, akan tetapi mencoba mengingatkan, berbagi pemikiran dan belajar menulis. Saya juga berharap mendapat respon berupa saran atau pemikiran yang lebih baik. Respon yang membuat pemikiran saya semakin baik dan benar.
Terkadang saya menemukan tulisan saya yang lalu salah, setelah saya mendapat respon dari pembaca atau bahkan setelah mengalami langsung hal yang terkait dengan tulisan saya tersebut. Terkadang kesalahan tulisan tersebut saya temukan setelah saya membaca, melihat, atau menggali beberapa sumber.
Berdasarkan kesalahan tersebut, saya memutuskan untuk lebih mempersiapkan tulisan yang akan saya tulis. Membaca, bertanya dan menggali kebenaran untuk tulisan yang akan saya tulis. Akan tetapi hal ini justru menghambat proses belajar menulis saya, atau bahkan menghentikan proses berpikir. Begitu banyak argumen yang berbeda dan mempunyai kebenaran masing-masing.
Respon dari pembaca tulisan saya beragam. Anak muda mayoritas pro dengan tulisan saya. Sebagian orang tua menganggap saya sok tau. Atau sekedar mengatakan, "Kamu masih muda, belum merasakan, belum terjun langsung, masih idealis, dll". Sebagian orang tua yang lain datar saja. Mungkin mereka lebih memilih membiarkan saya menemukan kebenaran sendiri. Sebagian orang tua lagi aktif memberikan beragam masukkan, yang terkadang benar, namun ada juga yang melebar kemana-mana. Bahkan ada respon orang tua yang lebih sempit dari pemikiran saya.
Lalu... Siapa yang sesungguhnya benar? Apakah saya sepenuhnya salah? Apakah saya harus berhenti menulis karena belum terjun ke bidang yang saya tulis? Apakah saya harus menjadi tua tanpa membaiknya pola pikir saya? Apakah saya harus diam dan mengikuti jejak orang tua yang sekarang sempit pemikirannya?
Ini sekedar tulisan anak muda yang menggebu-gebu, masih belajar merangkai kalimat, masih belajar mengatur sudut pandang pemikiran. Berusaha menjadi penulis blog terbaik, blog inspirasi, blog motivasi, blog tempat berbagi pemikiran.
19 February 2014
Menebar kebaikan atau kebosanan
Salah satu tujuan hidup saya adalah bermanfaat bagi orang lain. Manfaat yang saya maksud bisa berupa ilmu, harta, tenaga, pikiran, bahkan sekedar membuang duri di jalan atau memungut sampah.
Saat ini harta yang saya miliki belum cukup besar manfaatnya untuk orang lain. Mungkin hanya sampai infak jum'at atau sedekah kecil-kecilan.
Maka hal yang kini bisa saya lakukan adalah "menebar kebaikan". Menebar kebaikan melalui menulis, juga memotivasi di depan kelas disela-sela waktu nengajar.
Akan tetapi terkadang saya merasa tulisan atau motivasi yang saya sampaikan terkadang menebar kebosanan bukan kebaikan. Tulisan saya tidak menentu rangkaian kalimatnya. Kalimat motivasi yang saya sampaikan juga bertele-tele.
Kekurangan saya itu membuat saya hampir putus asa. Takut menulis dan segan memotivasi. Takut jika membosankan. Takut jika bertele-tele.
Akan tetapi akhirnya saya sadar. Jika saya berhenti, maka tujuan hidup saya bermanfaat untuk orang lain gagal. Jika saya terus mencoba, tidak tertutup kemungkinan tulisan dan motivasi saya mampu merubah jutaan orang menjadi semangat untuk membuat perubahan positif.
Mari selalu belajar seperti saya yang sedang belajar menulis ini.